Kamis, 17 Juli 2014

Gubuk Sekolah Itu Kini Berganti Wajah

Dulu sekolah itu hanya sekolah gubuk. Tak berdinding, tapi beruntung masih dilindungi atap daun. Awalnya, saya kaget melihat keadaan sekolah yang cukup memprihatinkan. Saya unggah foto sekolah SMAN 2 Amarasi Timur ke internet. Banyak yang bersimpati dengan keadaan sekolah ini. Namun, salah seorang muridku di Bandung berkomentar lain setelah melihat foto sekolah ini, “Ibu, ini sekolahnya green-school ya?”. Ah, iya benar. Berpikir positif akan lebih menenangkan hati. Anggap saja ini sekolah green-school, maka saya tidak akan terlalu kecewa.
Gambar 1 Keadaan kelas SMAN 2 Amarasi Timur di Semester Genap TA 2011-2012

Sekolah ini dibangun dengan modal nekat atas inisiatif warga Dusun Oekaka. Atas dasar inilah, nama tempat pada titimangsa di sekolah itu ditulis Oekaka. Setelah lulus SMP, kebanyakan siswa tidak meneruskan sekolah karena jarak tempuhnya sangat jauh jika akan meneruskan sekolah ke SMA terdekat. Mungkin bukan dikatakan terdekat, namun itu adalah satu-satunya SMA di Kecamatan Amarasi Timur pada waktu itu. Keinginan warga untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi minimal SMA sangatlah besar. Karena itulah warga bergotong royong membangun SMA Negeri 2 Amarasi Timur.

Antusiasme warga memasukkan putra-putrinya ke SMAN 2 Amarasi Timur sangatlah besar. Namun, fasilitas di sekolah ini sangat minim. Ya, maklum saja, sekolah ini dibangun atas dasar modal nekat. Awalnya siswa yang datang ke sekolah hanya beberapa orang. Bahkan, di hari pertama mengajar, saya hanya mendapati dua orang siswa saja di dalam kelas. Padahal jumlah daftar siswa di sekolah ini tidaklah sedikit, entah kemana mereka. Kepala sekolah meyakinkan guru-guru SM-3T bahwa ini baru permulaan, besok-besok pasti akan banyak siswa yang datang ke sekolah.

Kepala sekolah kemudian mengambil tindakan tegas. Para orang tua diberi himbauan agar anak-anaknya dimotivasi untuk datang ke sekolah pada saat jam sekolah. Namun, nampakya kegiatan berladang dan beternak lebih mengasyikkan daripada bersekolah. Pa Yohanis Ora, menjabat Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan ditugasi untuk menjemput anak-anak yang malas datang ke sekolah. Pikirku mungkin wajar anak-anak malas ke sekolah karena jarak tempuh mereka dari rumah ke sekolah cukup jauh, bahkan diantaranya ada yang harus menempuh jarak 10 KM dengan berjalan kaki. Namun, guru-guru disana meyakinkan kami bahwa itu bukanlah alasan untuk membenarkan ketidakhadiran mereka di sekolah.

Satu semester berlalu, tidak banyak perubahan pada sekolah ini. Selama satu semester saya kebingungan dengan materi yang harus saya ajarkan. Saya bingung karena setiap hari siswa di kelas selalu sedikit dan sering ganti personal. Saya bingung apakah saya harus mengikuti kurikulum yang berlaku di semester genap sedangkan dasar-dasarnya belum mereka kuasai, bahkan operasi hitung bilangan bulat sederhana pun mereka tidak bisa. Saya bingung apakah harus mengulang pelajaran ataukah melanjutkan materi dengan resiko akan ada siswa yang ketinggalan pelajaran karena pergantian personal tadi. Saya bingung karena guru-guru masuk kelas seenaknya tidak sesuai dengan jadwal yang disepakati dan keadaan ini megganggu jam pelajaran yang saya ampu, yaitu pelajaran Kimia. Jadilah selama satu semester itu saya tidak bisa menuntaskan materi karena kebingungan-kebingungan yang saya rasakan.

Daya tangkap siswa yang tidak begitu baik pun menjadi PR besar bagi saya untuk memperbaikinya. Salah satu alasan yang bisa membenarkan hal ini adalah karena mereka sudah terlalu lama tidak meneruskan sekolah. Tidak sedikit murid saya yang usianya lebih tua dari saya. Bahkan, diantara mereka ada yang sudah memiliki anak. Hal ini juga menjadi salah satu tantangan bagi saya karena ada beban di pikiran saya, “Wah, saya mengajarkan orang tua!”

Saya sudah mencoba mendiskusikan dengan kepala sekolah tentang ide-ide dari saya dan teman-teman SM-3T yang sama-sama bertugas di sekolah tersebut agar keadaan bisa diperbaiki. Tapi jawaban dari kepala sekolah selalu membuat kami pesimis. “Itu tidak bisa! Itu sulit! Kalian tidak mengerti keadaan warga disini!”. Ini juga menjadi salah satu hambatan kami.

Menjelang UN, ada pergantian  Kepala Sekolah. Fisik sekolah mulai dibenahi. Sekolah diberi dinding seadanya dari bebak (susunan pelepah gewang, tanaman sejenis lontar) dan diberi jendela tanpa kaca. Setidaknya siswa mulai merasa nyaman di kelas, kecuali kelas X yang masih harus bersabar belajar di ruangan tanpa dinding. Ketertiban di sekolah mulai dibenahi. Siswa yang kedapatan tidak masuk sekolah selama tiga hari berturut-turut akan dilakukan pemanggilan orang tua. Jam belajar pun dibenahi. Semua guru harus masuk kelas sesuai jadwal. Maka, saya pun bisa lebih mudah melakukan tugas saya sebagaimana mestinya. Kepala sekolah yang baru lebih bisa diajak kerjasama. 
Gambar 2 SMAN 2 Amarasi Timur setelah pergantian kepala sekolah

Gagasan-gagasan kami mulai dipertimbangkan. Kegiatan intrakurikuler OSIS mulai digiatkan dan kami menjadi bagian dari pembinaan intrakurikuler ini. Kepala sekolah juga bersedia untuk mengajukan permohonan bantuan gedung ke Kemdikbud melalui monitoring SM-3T dari salah satu LPTK penyelenggara. Alhamdulillah, sekolah bisa mendapatkan bantuan 3 unit gedung, 1 unit lab komputer beserta isinya dan instalasinya, dan 1 unit lab kimia lengkap dengan isinya. Khusus atas bantuan laboratorium kimia, kepala sekolah menawari saya sebagai kepala laboratorium jika lab kimia selesai dibangun. Ya, saya akan kembali jika memang nanti saya benar-benar dibutuhkan.  Selain itu, sekolah juga bersedia bekerjasama dengan LPTK lain yang sama-sama bertugas di sekolah itu dalam hal pengadaan buku. SMAN 2 Amarasi Timur sekarang sudah lebih baik. Para siswa pun lebih nyaman belajar di kelas.

Gambar 3 Bantuan RKB, lab komputer dan lab kimia dari Kemdikbud

Saya memulai kegiatan pembelajaran dengan lebih semangat karena jumlah siswa di sekolah ini sudah lebih banyak. Bahkan, karena kurangnya bangku di sekolah ini, salah satu murid saya, Apridon Toni terpaksa menggunakan meja guru untuk belajar. Tidak apa-apa, saya ridho walau meja dan kursi saya dipakai Apridon dan saya harus terus berdiri selama mengajar, asalkan para siswa bersemangat saat belajar. Itu sudah cukup membuat saya senang.

Gambar 4 Apridon Toni belajar di meja guru

Para siswa cukup takjub ketika saya mengajarkan mereka cara cepat berhitung matematika dan ternyata mereka bisa mengikutinya dengan mudah. Agar tidak jenuh, sesekali saya mengajak mereka belajar di luar kelas, bermain sambil belajar. Padahal usia mereka sudah bukan lagi usia anak-anak, namun mereka terlihat sangat menikmati permainan. Saat itu saya sadar, bahwa anak-anak ini bukanlah bodoh. Mereka hanya kurang diberikan motivasi saja.
Ada hal unik ketika saya mengajarkan tentang atom. Saya memulai pembelajaran dengan sebatang kapur. Saya memulai pembelajaran dengan diskusi,
“Apakah kapur ini bisa menjadi lebih kecil?”
“Ya.”
“Bagaimana caranya?”
“Dipatahkan!”, maka saya mematahkannya menjadi dua. Satu kapur saya simpan dan satunya lagi saya acungkan.
“Apakah masih bisa diperkecil?”
“Ya. Patahkan lagi ibu!”, maka saya patahkan lagi. Begitu seterusnya sampai kapur itu tidak bisa lagi saya patahkan.
“Apakah masih bisa dibagi lagi?”
Anak-anak terdiam.
“Bagaimana jika saya hancurkan kapur ini. Apakah kapur ini bisa jadi lebih kecil?”, saya mencoba memancing mereka.
“Ya, ibu! Kasih hancur saja.”, logat Kupangnya menambah keunikan cara mereka berbahasa.
Kali ini saya gerus kapur kecil itu sampai menjadi serbuk.
“Kapur ini sudah menjadi serbuk. Sudah sangat kecil sekali ukurannya. Tapi apakah kapur ini masih bisa dibagi lagi?”
Lagi-lagi anak-anak terdiam. Saya menjanjikan mereka hadiah gula-gula jika ada yang sanggup menjawab pertanyaan saya. Namun, seisi kelas hening. Tidak ada yang bisa menjawab. Baiklah, ini saatnya untuk menjelaskan.
“Jika kita mempunyai pandangan super dan diberi kemampuan  bisa melihat benda yang amat sangat kecil sekali...kita akan mendapati kapur ini berukuran sangaaaaaattt... kecil dan tidak bisa dibagi lagi. Nah, zat yang berukuran sangat kecil itu, yang tidk bisa dibagi lagi itu dinamai ATOM.” Saya lalu menuliskan kata ATOM di papan tulis.
Serentak anak-anak tertawa dan berteriak dengan kompak,
“ATOM! Anak Timor Otak Mantap! Ha..ha..ha..”
Saya takjub mendengarnya. Ya, betul! Anak Timor Otak Mantap (ATOM). Anak-anak Timor bukanlah anak-anak yang terpinggirkan. Anak-anak Timor tidaklah kalah dengan anak-anak Pulau Jawa. Mereka hanya kurang motivasi, mereka hanya butuh perhatian dari orang-orang yang peduli dengan masa depan mereka. Mereka bukanlah anak-anak bodoh hanya karena mereka tinggal di desa. Masa depan mereka suatu hari nanti akan secerah masa depan anak-anak lainnya. Insyaallah.

Penulis: Aristia Pratiwi Meliawati (Pend.Kimia UPI)


0 komentar:

Posting Komentar