Dulu sekolah itu hanya sekolah gubuk. Tak berdinding,
tapi beruntung masih dilindungi atap daun. Awalnya, saya kaget melihat keadaan
sekolah yang cukup memprihatinkan. Saya unggah foto sekolah SMAN 2 Amarasi
Timur ke internet. Banyak yang bersimpati dengan keadaan sekolah ini. Namun,
salah seorang muridku di Bandung berkomentar lain setelah melihat foto sekolah
ini, “Ibu, ini sekolahnya green-school
ya?”. Ah, iya benar. Berpikir positif akan lebih menenangkan hati. Anggap saja
ini sekolah green-school, maka saya
tidak akan terlalu kecewa.
Gambar
1 Keadaan kelas SMAN 2 Amarasi Timur di Semester Genap TA 2011-2012
Sekolah ini dibangun dengan modal nekat atas inisiatif
warga Dusun Oekaka. Atas dasar inilah, nama tempat pada titimangsa di sekolah
itu ditulis Oekaka. Setelah lulus SMP, kebanyakan siswa tidak meneruskan
sekolah karena jarak tempuhnya sangat jauh jika akan meneruskan sekolah ke SMA
terdekat. Mungkin bukan dikatakan terdekat, namun itu adalah satu-satunya SMA
di Kecamatan Amarasi Timur pada waktu itu. Keinginan warga untuk menyekolahkan
anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi minimal SMA sangatlah besar. Karena
itulah warga bergotong royong membangun SMA Negeri 2 Amarasi Timur.
Antusiasme warga memasukkan putra-putrinya ke SMAN 2
Amarasi Timur sangatlah besar. Namun, fasilitas di sekolah ini sangat minim.
Ya, maklum saja, sekolah ini dibangun atas dasar modal nekat. Awalnya siswa
yang datang ke sekolah hanya beberapa orang. Bahkan, di hari pertama mengajar,
saya hanya mendapati dua orang siswa saja di dalam kelas. Padahal jumlah daftar
siswa di sekolah ini tidaklah sedikit, entah kemana mereka. Kepala sekolah
meyakinkan guru-guru SM-3T bahwa ini baru permulaan, besok-besok pasti akan
banyak siswa yang datang ke sekolah.
Kepala sekolah kemudian mengambil tindakan tegas. Para
orang tua diberi himbauan agar anak-anaknya dimotivasi untuk datang ke sekolah
pada saat jam sekolah. Namun, nampakya kegiatan berladang dan beternak lebih
mengasyikkan daripada bersekolah. Pa Yohanis Ora, menjabat Wakil Kepala Sekolah
Bidang Kesiswaan ditugasi untuk menjemput anak-anak yang malas datang ke
sekolah. Pikirku mungkin wajar anak-anak malas ke sekolah karena jarak tempuh
mereka dari rumah ke sekolah cukup jauh, bahkan diantaranya ada yang harus
menempuh jarak 10 KM dengan berjalan kaki. Namun, guru-guru disana meyakinkan
kami bahwa itu bukanlah alasan untuk membenarkan ketidakhadiran mereka di
sekolah.
Satu semester berlalu, tidak banyak perubahan pada
sekolah ini. Selama satu semester saya kebingungan dengan materi yang harus
saya ajarkan. Saya bingung karena setiap hari siswa di kelas selalu sedikit dan
sering ganti personal. Saya bingung apakah saya harus mengikuti kurikulum yang
berlaku di semester genap sedangkan dasar-dasarnya belum mereka kuasai, bahkan
operasi hitung bilangan bulat sederhana pun mereka tidak bisa. Saya bingung
apakah harus mengulang pelajaran ataukah melanjutkan materi dengan resiko akan
ada siswa yang ketinggalan pelajaran karena pergantian personal tadi. Saya
bingung karena guru-guru masuk kelas seenaknya tidak sesuai dengan jadwal yang
disepakati dan keadaan ini megganggu jam pelajaran yang saya ampu, yaitu
pelajaran Kimia. Jadilah selama satu semester itu saya tidak bisa menuntaskan
materi karena kebingungan-kebingungan yang saya rasakan.
Daya tangkap siswa yang tidak begitu baik pun menjadi PR
besar bagi saya untuk memperbaikinya. Salah satu alasan yang bisa membenarkan
hal ini adalah karena mereka sudah terlalu lama tidak meneruskan sekolah. Tidak
sedikit murid saya yang usianya lebih tua dari saya. Bahkan, diantara mereka
ada yang sudah memiliki anak. Hal ini juga menjadi salah satu tantangan bagi
saya karena ada beban di pikiran saya, “Wah, saya mengajarkan orang tua!”
Saya sudah mencoba mendiskusikan dengan kepala sekolah
tentang ide-ide dari saya dan teman-teman SM-3T yang sama-sama bertugas di
sekolah tersebut agar keadaan bisa diperbaiki. Tapi jawaban dari kepala sekolah
selalu membuat kami pesimis. “Itu tidak bisa! Itu sulit! Kalian tidak mengerti
keadaan warga disini!”. Ini juga menjadi salah satu hambatan kami.
Menjelang UN, ada pergantian Kepala Sekolah. Fisik sekolah mulai dibenahi.
Sekolah diberi dinding seadanya dari bebak
(susunan pelepah gewang, tanaman sejenis lontar) dan diberi jendela tanpa kaca.
Setidaknya siswa mulai merasa nyaman di kelas, kecuali kelas X yang masih harus
bersabar belajar di ruangan tanpa dinding. Ketertiban di sekolah mulai
dibenahi. Siswa yang kedapatan tidak masuk sekolah selama tiga hari
berturut-turut akan dilakukan pemanggilan orang tua. Jam belajar pun dibenahi.
Semua guru harus masuk kelas sesuai jadwal. Maka, saya pun bisa lebih mudah
melakukan tugas saya sebagaimana mestinya. Kepala sekolah yang baru lebih bisa
diajak kerjasama.
Gambar 2 SMAN 2 Amarasi Timur setelah pergantian kepala sekolah
Gagasan-gagasan kami mulai dipertimbangkan. Kegiatan
intrakurikuler OSIS mulai digiatkan dan kami menjadi bagian dari pembinaan
intrakurikuler ini. Kepala sekolah juga bersedia untuk mengajukan permohonan
bantuan gedung ke Kemdikbud melalui monitoring SM-3T dari salah satu LPTK
penyelenggara. Alhamdulillah, sekolah bisa mendapatkan bantuan 3 unit gedung, 1
unit lab komputer beserta isinya dan instalasinya, dan 1 unit lab kimia lengkap
dengan isinya. Khusus atas bantuan laboratorium kimia, kepala sekolah menawari
saya sebagai kepala laboratorium jika lab kimia selesai dibangun. Ya, saya akan
kembali jika memang nanti saya benar-benar dibutuhkan. Selain itu, sekolah juga bersedia bekerjasama
dengan LPTK lain yang sama-sama bertugas di sekolah itu dalam hal pengadaan
buku. SMAN 2 Amarasi Timur sekarang sudah lebih baik. Para siswa pun lebih
nyaman belajar di kelas.
Gambar 3 Bantuan RKB, lab komputer dan lab kimia dari Kemdikbud
Saya memulai
kegiatan pembelajaran dengan lebih semangat karena jumlah siswa di sekolah ini
sudah lebih banyak. Bahkan, karena kurangnya bangku di sekolah ini, salah satu
murid saya, Apridon Toni terpaksa menggunakan meja guru untuk belajar. Tidak
apa-apa, saya ridho walau meja dan kursi saya dipakai Apridon dan saya harus
terus berdiri selama mengajar, asalkan para siswa bersemangat saat belajar. Itu
sudah cukup membuat saya senang.
Gambar 4 Apridon Toni belajar di meja guru
Para siswa cukup takjub ketika saya mengajarkan mereka
cara cepat berhitung matematika dan ternyata mereka bisa mengikutinya dengan
mudah. Agar tidak jenuh, sesekali saya mengajak mereka belajar di luar kelas,
bermain sambil belajar. Padahal usia mereka sudah bukan lagi usia anak-anak,
namun mereka terlihat sangat menikmati permainan. Saat itu saya sadar, bahwa
anak-anak ini bukanlah bodoh. Mereka hanya kurang diberikan motivasi saja.
Ada hal unik ketika saya mengajarkan tentang atom. Saya
memulai pembelajaran dengan sebatang kapur. Saya memulai pembelajaran dengan
diskusi,
“Apakah kapur ini bisa menjadi lebih kecil?”
“Ya.”
“Bagaimana caranya?”
“Dipatahkan!”, maka saya mematahkannya menjadi dua. Satu
kapur saya simpan dan satunya lagi saya acungkan.
“Apakah masih bisa diperkecil?”
“Ya. Patahkan lagi ibu!”, maka saya patahkan lagi.
Begitu seterusnya sampai kapur itu tidak bisa lagi saya patahkan.
“Apakah masih bisa dibagi lagi?”
Anak-anak terdiam.
“Bagaimana jika saya hancurkan kapur ini. Apakah kapur
ini bisa jadi lebih kecil?”, saya mencoba memancing mereka.
“Ya, ibu! Kasih hancur saja.”, logat Kupangnya menambah
keunikan cara mereka berbahasa.
Kali ini saya gerus kapur kecil itu sampai menjadi
serbuk.
“Kapur ini sudah menjadi serbuk. Sudah sangat kecil
sekali ukurannya. Tapi apakah kapur ini masih bisa dibagi lagi?”
Lagi-lagi anak-anak terdiam. Saya menjanjikan mereka
hadiah gula-gula jika ada yang sanggup menjawab pertanyaan saya. Namun, seisi
kelas hening. Tidak ada yang bisa menjawab. Baiklah, ini saatnya untuk menjelaskan.
“Jika kita mempunyai pandangan super dan diberi
kemampuan bisa melihat benda yang amat
sangat kecil sekali...kita akan mendapati kapur ini berukuran sangaaaaaattt...
kecil dan tidak bisa dibagi lagi. Nah, zat yang berukuran sangat kecil itu, yang
tidk bisa dibagi lagi itu dinamai ATOM.” Saya lalu menuliskan kata ATOM di
papan tulis.
Serentak anak-anak tertawa dan berteriak dengan kompak,
“ATOM! Anak Timor Otak Mantap! Ha..ha..ha..”
Saya takjub mendengarnya. Ya, betul! Anak Timor Otak
Mantap (ATOM). Anak-anak Timor bukanlah anak-anak yang terpinggirkan. Anak-anak
Timor tidaklah kalah dengan anak-anak Pulau Jawa. Mereka hanya kurang motivasi,
mereka hanya butuh perhatian dari orang-orang yang peduli dengan masa depan
mereka. Mereka bukanlah anak-anak bodoh hanya karena mereka tinggal di desa.
Masa depan mereka suatu hari nanti akan secerah masa depan anak-anak lainnya.
Insyaallah.
Penulis: Aristia
Pratiwi Meliawati (Pend.Kimia UPI)
0 komentar:
Posting Komentar