Jum’at 04 Mei
2012, tepat pukul 14.00 WIB pembelajaran di SMPN 2 Simpang Jernih dimulai tanpa
ada suara bel maupun lonceng sebagai pertanda masuk jam pelajaran. Seperti
hari-hari sebelumnya, sekarang dan mungkin yang akan datang, jumlah guru yang
mengajar di sekolah ini hanya 2 orang yaitu saya dan Pak Jamin Pinem seorang
“Batak Karo” ahli madya Jurusan Manajemen Informatika yang mau mengabdi sebagai
guru bhakti di sekolah ini.
Hari
ini saya mengajar di kelas 2, dari 40 siswa yang terdaftar di Dinas Pendidikan dan
hanya 16 siswa yang aktif mengikuti pembelajaran, hari ini hanya ada 8 siswa
yang masuk sekolah. Sisanya ada yang membantu orang tua panen di sawah, membantu
menebang pohon di hutan bahkan sebagian lagi sedang tidur siang karena
semalaman mereka begadang menonton pesta pernikahan warga sampai jam 04.00 pagi. Keadaan seperti ini
sudah cukup lumayan dibandingkan hari-hari sebelumnya yang hanya dihadiri oleh
dua, tiga bahkan tidak ada sama sekali siswa yang masuk sekolah.
Siang
ini bukanlah pelajaran geografi ataupun IPS yang saya ajarkan melainkan
pelajaran Bahasa Indonesia. Inilah sebuah resiko yang harus saya tanggung,
dengan tidak adanya guru otomatis saya harus bisa mengajarkan semua mata
pelajaran yang ada disekolah padahal latar belakang saya adalah geografi.
Masih agak
lumayan latar belakang saya sebagai lulusan dari program kependidikan,
bandingkan dengan Pak Jamin Pinem yang lulusan D3 Manajemen Informatika tetapi
dia harus bekerja sebagai guru mata pelajaran.
Materi
yang saya ajarkan pada pertemuan kali ini adalah materi tentang membuat surat
resmi. Seperti biasa pembelajaran dimulai dengan do’a bersama, setelah selesai
berdo’a saya pun mulai melakukan kegiatan pembelajaran.
Sebelum saya
menjelaskan tentang pengertian, struktur ataupun contoh surat resmi, saya
memulai pembelajaran dengan bertanya kepada siswa “Apakah kalian tahu apa itu surat resmi?”. Detik demi detik pun
berlalu, seperti hari-hari sebelumnya setiap kali saya mengajukan pertanyaan
diawal pelajaran suasana kelas sangat hening tidak ada suara sedikitpun yang
keluar dari siswa dan siswi saya ini. Hanya terdengar suara Pak Jamin Pinem
dengan logat “Batak”nya yang kental sedang menerangkan dikelas sebelah.
Saya pun
mengajukan pertanyaan yang kedua “Apakah
diantara kalian ada yang pernah membuat surat?”, suasana pun hampir sama
seperti saya mengajukan pertanyaan yang pertama tadi, hanya ada suara pak Jamin
dan suara buku yang dibulak-balik oleh siswa seolah-olah sedang mencari
jawaban.
Finally, saya mengajukan pertanyaan yang
ketiga, “Apakah diantara kalian ada yang
pernah membuat surat cinta?”, keadaan pun 1800 berbeda dengan
pertanyaan pertama dan kedua, semua siswa saling mengeluarkan suara yaitu suara
bersifat tuduhan terhadap teman-teman yang lainnya “Sumaidi pak” kata Darwin, lalu Sumaidi pun tak mau kalah dia pun
menjawab “Samila Pak, dia suka ngirimi
abang saya surat cinta pak” ejek Sumaidi kepada Samila. Sontak keadaan
kelas pun menjadi ramai walaupun hanya dengan 8 orang siswa.
Setelah
suasana kembali kondusif, saya pun memulai menjelaskan tentang surat resmi.
Singkat cerita selesailah saya menjelaskan materi, kemudian saya menugasi siswa
dan siswi saya untuk membuat satu surat resmi yang maksud dan tujunannya bebas
sesuai dengan keinginan siswa.
Menit demi menit
pun berlalu, akhirnya siswa dan siswi pun selesai mengerjakan tugas mereka.
Saya pun meminta siswa untuk membacakan hasil tugas mereka di depan kelas.
Isi
surat siswa pun bermacam-macam, ada yang membuat surat untuk kepala desa,
membuat surat kepada perusahaan bahkan ada siswa yang membuat surat “lagi-lagi”
surat cinta, padahal yang saya tugaskan adalah surat resmi.
Tetapi ada salah
seorang siswi yang membuat saya heran sekaligus kagum. Amila itulah nama siswi
yang membuat saya kagum pada dia. Bukan karena paras maupun sifat dia,
melainkan dari surat yang baru saja dia bacakan di depan kelas. Disaat yang
lain membuat surat yang ditujukan kepada perusahaan ataupun kepala desa tetapi
dia membuat suatu yang lebih sensasional menurut saya, dia membuat surat yang
ditujukan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia. Isi suratnya pun cukup
singkat dan jelas, yaitu dia meminta bantuan kepada Bapak Presiden untuk dapat
membuatkan titi gantung (Jembatan Gantung) di desa mereka (desa Melidi).
Berikut ini adalaha isi dari surat Amila itu:
Yth. Bapak Presiden RIDi JakartaDengan Hormat, Semoga kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan selalu mengiringi Bapak. Dengan ini saya yang bernama Amila SMPN 2 Simpang Jernih Kec. Simpang Jernih untuk meminta bantuan untuk diadakan titi gantung di Melidi kec. Simpang Jernih ini. Dengan adanya titi gantung kami bisa aktif untuk sekolah, karena sekolah kami ada di sebelah gampong kami desa itu dinamakan Perjut. Kami ke Perjut harus melewati sungai besar. Sekarang ini kalau air sungai kecil kami bisa sekolah di seberang, tapi kalau air besar kami gak bisa sekolah. Dari karena itu saya mohon kepada Bapak untuk memberikan bantuannya untuk mengadakan titi gantung di gampung Melidi. Semoga hal ini dapat Bapak maklumi. Demikianlah atas perhatian Bapak saya ucapakan terima kasih. WassalamHormat saya Amila
Itulah
petikan surat yang dibuat oleh seorang siswi yang sangat prihatin akan keadaan
sarana dan prasarana yang ada di desanya. Keinginannya cukup sederhana, dia dan
kawan-kawan yang lainnya ingin bersekolah di gedung sekolah SMPN 2 Simpang
Jernih yang memang disitulah seharusnya mereka belajar. Bukan seperti sekarang
ini, disaat air sungai sedang meluap mereka secara terpaksa harus melakukan
kegiatan pembelajaran dengan menumpang di gedung SDN Melidi yang letaknya di
sekitar pemukiman warga.
Mungkin ini sedikit konyol, bahkan mungkin diantara kita
akan bertanya “Kenapa susah amat sih,
sekolah di gedung SD aja kan sama saja?”, tapi tidak demikian dengan siswa
disini, mereka sangat ingin dan bahkan akan sangat bersemangat apabila mereka
bersekolah di gedung yang seharusnya mereka tempati. Salah satu alasan kenapa
belakangan ini banyak siswa yang tidak mau sekolah yaitu karena mereka merasa
tidak bersemangat apabila bersekolah di gedung SDN Melidi, mereka ingin
bersekolah di gedung SMPN 2 Simpang Jernih walaupun untuk menuju ke sekolah
mereka harus menyebrangi sungai dan harus berjalan kaki sejauh 2 Km.
Oleh: Samiaji Sapto Wibowo, S.Pd
0 komentar:
Posting Komentar